Rambut gimbal anak-anak Dieng nampak beberapa helai tergulung tertutupi rambut halus di bagian luar. Beberapa ada juga yang menggumpal gimbal dan tebal seperti rambut kusam yang tak pernah dicuci. Anak-anak gimbal ini terkadang bertingkah tidak seperti anak seumurannya karena sering menyendiri. Masyarakat Dieng tidak berani melanggar pantangan-pantangan menyangkut mitos anak gembel ini, seperti memotong rambut gimbal tersebut sebelum si anak memintanya. Apabila dilanggar maka akan mengakibatkan si anak sakit dan rambut pun kembali gimbal.
Dataran tinggi Dieng yang berlokasi di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, untuk ketiga kalinya menggelar Festival Budaya Dieng sejak 30 Juni hingga Minggu, 1 Juli 2012. Puncak acara festival dipusatkan di kompleks Candi Arjuna yang tepelihara dengan baik dan telah ada sejak 809 M. Hingga Minggu (1/7), arus pengunjung masih terus berdatangan memasuki kota yang dikenal sebagai kawasan wisata bersuhu sejuk hingga 16º C itu sehingga pengunjung terpaksa mengenakan baju hangat tebal karena hawa dingin yang menusuk.
Acara festival diawali jalan santai yang diikuti pelajar, masyarakat, pegawai pemerintah dan BUMD setempat, serta wisatawan. Beberapa diantaranya datang juga komunitas backpacker yang nampak mewarnai sudut-sudut kota kecil yang disebut sebagai daerah mistis di Jawa Tengah. Setelah selesai mengikuti jalan santai, peserta diundang menikmati minuman tonik tradisional yang disebut purwaceng. Sedikitnya 4.000 gelas purwaceng disediakan panitia namun rupanya jumlah peserta yang berminat mencicipi minuman ini jauh lebih banyak lagi mencapai 6.000 orang. Purwaceng menjadi sangat berharga di Dieng. Selain masa panennya hanya 4-5 tahun sekali, purwaceng pun hanya tumbuh di ketinggian 2000 m dpl lebih. Konon minuman ini berkhasiat seperti ginseng. Bupati Banjarnegara berniat mengorbitkan Purwaceng sebagai minuman khas Dieng yang akan menjadi salah satu komoditi unggulan Dieng, selain kentang yang berkualitas sangat baik, sayuran, dan tembakaunya.
Wayang kulit yang digelar malam hari menjadi rendezvous bagi wisatawan peminat budaya, terutama backpacker. Selain bersamaan dengan masa liburan, wisatawan dan backpacker memang sudah biasa menjadikan Dieng Culture Festival sebagai tempat berjumpa atau kopi darat mereka, selain tentunya secara rutin mereka kerap berdiskusi di forum internet. Kembang api sebagai pembuka festival menjadi tontonan menghibur bagi seluruh warga dan pengunjung.
Pada Minggu (1/7), ruwatan dimulai dari rumah tetua setempat, yaitu Mbah Naryono. Dua pedati kuda sudah siap membawa keluarga-keluarga yang anaknya akan dicukur karena rambut 'gembel' mereka. Dengan kepala diikat kain putih, anak-anak berambut gimbal ini ditemani orang tuanya untuk prosesi acara keramas di Sumur Sendang Maerokoco atau juga disebut Sendang Sedayu. Arak-arakan disambut belasan ribu penonton di sepanjang jalan kota kecil Dieng. Keramas pun menjadi daya tarik dan mengundang penonton hingga penuh berdesakan.
Indiska (4,5 tahun) adalah satu dari enam orang anak yang dicukur rambutnya hari itu. Ritual cukur rambut tersebut untuk menghilangkan 'gembel' atau aura negatif dalam dirinya. Konon masyarakat Dieng percaya bahwa ‘gembel’ dapat membawa musibah pada lingkungan sekitarnya bila tidak dibuang (baca: dipotong) dan orang tua Indiska harus memenuhi permintaan anaknya sebelum dicukur rambut gimbalnya. Permintaan Indiska ialah produk minuman anak-anak yang populer dan permen. Anak lain ada yang meminta uang seratus dan seribu rupiah, ada juga yang meminta seekor domba.
Rambut gimbal anak Dieng dipercayai sebagai titipan penguasa alam gaib dan baru bisa dipotong setelah adanya permintaan dari anak bersangkutan. Permintaan dari si anak yang harus dipenuhi tidak bisa diintervensi pihak lain termasuk oleh orang tuanya. Permintaan tersebut harus dipenuhi, tidak boleh kurang atau lebih. Kadang si anak bisa meminta apa saja, belum lagi pelaksanaan ruwatan gembel atau ritus pemotongan rambut gimbal yang membutuhkan biaya cukup besar. Kadang apabila permintaan si anak tidak dikabulkan maka si anak akan kembali sakit dan rambut gimbalnya kembali tumbuh.
Wisatawan asal Belanda yang datang dalam rombongan-rombongan berbeda nampak berbaur bersama pengunjung dari berbagai kota di Pulau Jawa, seperti dari Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Malang, Solo, dan Jakarta. Rombongan wisatawan asal Belanda sejumlah 25 orang sengaja singgah ke Dieng dalam rangkaian perjalanannya di Indonesia selama 22 hari, mulai dari Jakarta hingga Bali. Mereka begitu terpesona lansekap dataran tinggi Dieng yang tak ada di negaranya. Di sekeliling Dieng, pengunjung disuguhi berbagai daya tarik wisata seperti Telaga Warna, kompleks Candi Arjuna, Gatot Kaca, Batu Kelir, Kawah Sikidang, Meseum Dieng, dan Agrowisata Tambi.
Dilaporkan bahwa hampir semua akomodasi berupa homestay, guesthouse, dan hotel kecil di Dieng penuh terisi. Papan pemberitahuan bertuliskan FULL tepampang di setiap homestay di jalur utama menuju kompleks candi dan jalan lingkar yang menjadikan Dieng sebagai tujuan wisata yang nyaman dan terpadu. Tidak mengherankan, perhelatan ini membuat masyarakat setempat pun selalu kebanjiran pesanan kamar setiap tahunnya dan mengubah rumah mereka menjadihomestay. Adalah Pak Haji Dibyono yang sukses menjadi petani kentang khas Dieng sudah tebiasa menerima tamu di rumahnya. Homestay Kalingga miliknya melayani tamu seperti di hotel. Tanah Dieng telah memberikan anugerah melimpah selain budayanya yang menjadi daya tarik bagi wisatawan.
Dieng sendiri merupakan wilayah dataran tinggi yang terletak 30 km dari kota Wonosobo, tepatnya di perbatasan Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo. Dataran tinggi ini telah terkenal karena memiliki memiliki banyak candi-candi kecil kuno yang indah terhampar di kawasan dataran tinggi gunung api. Untuk menuju kawasan ini dapat memanfaatkan kendaraan sewaan atau pun transportasi umum berupa bus.
Liputan langsung Indonesia.Travel dalam Festival Budaya Dieng 2012.
ConversionConversion EmoticonEmoticon